Sabtu, 03 Juli 2010

HAKIKAT GURU: SEBUAH PERSPEKTIF

Ketika manusia masih menjadi bayi, otaknya bagai spons yang mampu menyerap apa saja. Bayi mampu belajar dengan cepat kepada lingkungan sekitarnya. Kemampuannya itu muncul karena bayi didukung oleh beberapa hal; Pertama, Bayi selalu didukung oleh orang tua yang supportif, yang selalu mendukung kegiatan belajarnya. Hal ini menimbulkan kepercayaan dan harga diri yang tinggi kepada bayi. Sebuah modalitas yang sangat penting dalam proses belajar.

Kedua, Bayi tidak takut mengambil resiko ketika belajar. Dia tidak perduli apakah dia akan salah, mendapat malu atau gagal. Mari lihat bayi yang sedang belajar berjalan. Pada tahun pertamanya seorang bayi merangkak dan mulai merambat ke dinding untuk berdiri. Setelah berhasil, dia mulai mencoba untuk berjalan. Kaki-kaki mungilnya yang masih muda bergetar. Berkali-kali dia terjatuh, lalu menangis. Tapi tidak lama dia mulai berdiri lagi dan mencoba untuk kembali berjalan. Tidak ada rasa jera. Bayi merupakan sosok hebat dalam proses belajar. Dia tidak takut mengambil resiko.

Dua hal itu yang menjadi sebab kenapa seorang bayi memiliki kemampuan dan otak yang cerdas. Tp mari kita lihat proses belajar bayi itu ketika dia beranjak besar. Saat dia masuk tahun pertamanya di sekolah dasar, awalnya dia merasa sangat bahagia karena menganggap akan memiliki teman-teman baru, lingkungan baru dan segala hal baru yang membuatnya penasaran.

Tiba di dalam kelas. Bayi yang telah menjadi besar itu berkali-kali tertawa dan menyapa teman-temannya dengan bahagia. Saat pelajaran dimulai, dia merasa sangat antusias. Namun lima menit kemudian, antusiasmenya akan berubah menjadi malapetaka yang akan dia bawa seumur hidup.

Ketika itu guru bertanya, “Berapakah satu ditambah satu?” Anak tadi segera mengacungkan tangannya. “Iya, kamu,” Kata guru itu. Anak tadi menjawab cepat, “Empat bu guru.” Senyumnya terkembang karena merasa telah memberikan jawaban yang tepan dan karena merasa mampu dibanding teman-temannya.

Tiba-tiba dia seperti dilemparkan ke dalam jurang yang paling dalam ketika guru itu memberikan respons, “Dasar bodoh! Satu ditambah satu saja tidak tahu!” Teman-temannya serentak turut mentertawakan. Ini titik awal perubahan mental belajar yang terjadi pada anak itu.

Setelah hari itu, anak tadi mulai takut untuk mengambil resiko ketika belajar. Dia mulai selalu mempertimbangkan matang-matang sebelum memberikan jawaban. Bahkan sekalipun dia tahu, belum tentu dia akan menjawab sebuah pertanyaan. Baginya akan lebih aman jika menjawab “Saya tidak tahu.” Anak itu mulai mengenal rasa taku, malu, ragu ketika belajar. Belajar lama kelamaan akan dianggap menjadi sebuah medan perang yang mengerikan.

Melalui ilustrasi ini dapat dilihat bahwa betapa pentingnya peran guru dalam membentuk tingkah laku, mencerdaskan, menanamkan sikap mental atau mempengaruhi antusiasme seorang siswa dalam proses pembelajaran. Kesalahan seorang guru dapat berakibat fatal bagi kehidupan seseorang yang bernama siswa itu.

Namun ironis bahwa pada kenyataannya belum semua guru bersedia mempertimbangkan sikapnya kepada para siswa. Masih banyak guru yang bersikap semaunya, merasa menjadi raja di kelas, kurang peka, dan cenderung kaku. Kita sebut saja tipe guru demikian sebagai guru konvensional. Tipe yang masih banyak berkerumun di dunia sekolah tanah air dan tidak juga habis.

Guru-guru bergaya konvensional umumnya menererapkan metode ceramah, bersifat sentralistik, merasa benar sendiri, tidak memiliki inisiatif untuk memotivasi siswa, pemalas, kurang berwawasan, dan tradisional.

Kepada guru-guru yang demikianlah blog ini dibuat. Bukan sebagai bentuk kebencian, namun sebagai counter opinion, sebagai alternatif untuk membuktikan bahwa metode dan sikap para guru konvensional sudah mesti ditinggalkan, karena telah terbukti kurang sehat dalam proses belajar-mengajar.

Hakikat guru adalah mencerdaskan. Ini bisa dilakukan dengan cara memberi motivasi kepada siswa, menanamkan self esteem kepada siswa, melakukan transfer ilmu secara moderat, melakukan dialog konstruktif dalam berbagai bidang yang diminati siswa, dan menjadi sahabat yang hangat bagi siswa.

Kami percaya masih ada guru-guru yang demikian di tanah air. Masih ada.

Oleh: Robby Milana

Sumber: http://edukasi.kompasiana.com

Posting Komentar

Next Prev home
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...